Tertegun aku menatap kehadirannya.
Dan senyumnya. Juga matanya.
“Tira!”
Ya dia memanggil namaku lagi.
Suaranya begitu bening. Ada
nuansa terkejut di sana .
Tapi hanya sedikit aku terperangah.
Mungkin aku terkejut akan menemuinya pada tempat seperti ini. Aku sama sekali
tidak menyangka akan bertemu siapa-siapa di supermarket kuno ini. Bahkan saat
mas Bima, satu-satunya kakak laki-lakiku, memarkir mobil di lapangan parkir,
aku sedikit enggan untuk turun.
Senyum itu begitu hangat.
Aku tidak lagi bengong. Sama sekali
tidak. Aku seolah sudah menggariskan momen seperti ini. Aku sudah tahu, kalau
satu saat aku bertemu dia, pasti perasaan inilah yang aku rasakan.
Aku membalas senyumnya. Membalas
sorotan matanya.
Bertahun-tahun. Ya bertahun-tahun
aku hanya bertemu dengannya lewat mimpi. Kadang-kadang. Dan bertahun-tahun juga
dia menyapaku melalui lamunan. Senyum yang sama. Alis dengan tebal yang sama.
Sosoknya begitu lekat. Sepekat
hari-hariku. Seringai yang dibawanya dalam mimpi membuat malamku penuh warna.
Sorot matanya yang teduh membalikannya hitam putih kembali. Tapi, hey lihatlah
dia ada di hadapanku sekarang. Rasanya tak sanggup aku menahan lenganku untuk
tak memeluknya.
“Bayu!” seruku.
Dia mengulurkan tangannya. Begitu
kokoh. Tapi tak sempet kunikmati genggamannya. Karena mata kita seolah tak
berhenti saling menelaah.
“Kemana aja?” tanyanya.
Aku tak kuasa menahan gadis ceria di
dalam diriku. Telunjukku menudingnya, “Nggak. Elu yang kemana aja?!”
Dan senyumnya yang meringis itu.
Juga matanya yang menyipit.
“Lu ga pernah ngumpul-ngumpul bareng
anak-anak,” tudingku lagi.
Dia masih tertawa. Tapi tawanya
mereda. Kemudian matanya menelusuriku. Mencari titik-titik perbedaan. Ya, aku
tahu apa yang terekam di memorinya. Seorang perempuan dengan rok abu-abu,
kemeja putih dengan lambang OSIS, sepatu all-star hitam, dan tas ransel besar
berwarna merah. Perawakan lebih berisi
dari sekarang dan rambut sebahu.
“Kamu kurus sekarang,” gumamnya
sambil mengamatiku. Menyisir dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Benar kan .
Giliranku menyapukan pandang.
Dimanakah letak titik-titik perbedaan itu? Bayangan-bayangan berkelebat di
benakku bagaikan video yang diputar ulang. Dalam sekejap aku mendapatinya lagi.
Sosok semampai dengan kulit kecoklatan dan alis tebal. Rambut pendek nyaris
botak serta tubuh atletis. Perbandingan yang sama. Mungkin rambutnya sedikit
lebih panjang. Aku memandanginya sedikit lagi. Tidak. Tetap sosok yang sama.
Sehingga aku urung berkomentar tentangnya.
Sejenak waktu saja yang berputar.
Juga rekaman memori di otak kita.
“Ngapain lu di sini?” tanyaku
berusaha mencairkan suasana.
Dan dia tersenyum. Sambil
menggaruk-garuk belakang kepalanya yang aku yakin tidak gatal. “Lah, kamu
ngapain di sini?”
Dan kembali kita hanya menyeringai.
Seolah itu semua dapat menjawab pertanyaan.
Tawa itu bagitu hangat. Sekaligus
begitu jauh. Tanpa kusadari aku memejamkan mataku sebentar. Ada pertanyaan lucu, mengapa kita menutup
mata kita saat tertawa, berciuman dan bermimpi? Dan jawabannya karena hal-hal
yang indah di dunia ini hanya bisa dirasakan dan tidak bisa dilihat oleh mata.
Sama halnya dengan tawa hangat itu.
Maaf, eberapa detik tadi aku menjadi
terlalu melankolik. Tapi memang melankolik menjadi bagian diriku setelah
mengenal Bayu. Tawaku mempunyai air mata setelah mengenalnya.
“Gue lagi bareng Mas Bima,” sahutku
pelan, mengenyahkan perasaan melankolik tadi.
Dia tersenyum. Manggut-manggut.
Seolah mengerti sesuatu. Padahal tidak ada yang harus dimengerti di sini.
Entah karena tidak ada pembicaraan
atau apa, tiba-tiba dia berkata, “Gue bareng... eng... “ Tubuhnya membalik
sedikit, memperlihatkan ada wanita lain di belakangnya.
Entah bagaimana perasaanku saat itu.
Cewek yang sama. Oh, maksudku, tipikal cewek yang sama dengan... para wanita
yang telah membuatku meneteskan air mata. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Akan
hubungan antara aku dan Bayu dan para wanita itu.
Gadis berambut panjang itu tersenyum
kepadaku. Senyum yang serupa. Bahkan mungkin memporak porandakan hatiku di
sedikitnya kebahagiaan sore ini?
Seharusnya kami bersalaman. Tapi
jarak yang membentang, walopun tidak lebih dari dua meter, membuat kami tak
bergeming di tempat masing-masing. Seperti ada usaha untuk mempertahankan
daerah teritori. Dengan lelaki di antara kami sebagai piala atau hadiah hiburan.
Tanpa kusadari semakin dalam aku
menelaahnya. Oh, mengapa wajah wanita itu begitu mirip manisnya dengan Bayu?
Tapi mengapa Tuhan menganugerahinya kulit putih mulus sedikit berlebihan? Lalu,
mengapa celana jeans itu membungkus tungkainya begitu pas dan rapih? Dan
lengannya ramping sempurna. Dan lihatlah rambutnya hitam legam dan berlarian di
punggungnya. Nampaknya seluruh dunia pun tahu sekarang, siapa yang pantas
membawa pulang hadiah hiburan.
Tanpa kusadari aku menelaah diriku
sendiri. Ah mengapa hari ini aku terlihat biasa cenderung katro dengan rok
batik dan kaos putih polos ini? Lihatlah betis ini mencuat begitu ingin
diperhatikan. Rambutku pun lebih berombak dan berkeliaran tak mau tunduk pada
pemiliknya.
Cukup. Kulihat si pemenang hadiah
hiburan tadi. Sedikit ego boleh menyembul. Aku unik, kau begitu pada umumnya.
Dengan kata lain, aku aneh, dan kau cantik selayaknya wanita.
“Dinda, sepupu gw,” cetus Bayu.
Dan seketikan itu juga terdengar
denting simbal dipukul nyaring.
“Hai Dinda,” sapaku begitu hangat.
Semoga dia melihat itikad baik dan sebuncah kebahagiaan di dalamnya.
Dinda hanya tersenyum. Nampak tidak
peduli. Tapi mulai memperhatikanku. Tapi kini aku yang tidak peduli. Aku
tersenyum dan mencatat setiap detik momen ini di otakku dan siap mebacanya
kapan saja.